Tapi aku masih sangat bersyukur karena Lukman dan Naila mau hadir menjadi saksi. Umurku sudah menginjak seperempat abad dan Kania di bawahku. Cita-cita kami sederhana, ingin hidup bahagia.
22 tahun yang lalu, ...
Pekerjaanku tidak begitu elit, tapi cukup untuk biaya
makan keluargaku. Ya, keluargaku. Karena sekarang aku sudah punya momongan.
Seorang putri, kunamai ia Kamila. Aku berharap ia bisa menjadi perempuan
sempurna, maksudku kaya akan budi baik hingga dia tampak sempurna. Kulitnya
masih merah, mungkin karena ia baru berumur seminggu. Sayang, dia tak dijenguk
kakek-neneknya dan aku merasa prihatin. Aku harus bisa terima nasib kembali,
orangtuaku dan orangtua Kania tak mau menerima kami. Ya sudahlah. Aku tak
berhak untuk memaksa dan aku tidak membenci mereka. Aku hanya yakin, suatu saat
nanti, mereka pasti akan berubah.
19 tahun yang lalu, ...
Kamilaku gesit dan lincah. Dia sekarang sedang senang
berlari-lari, melompat-lompat atau meloncat dari meja ke kursi lalu dari kursi
ke lantai kemudian berteriak “Horeee, Iya bisa terbang”. Begitulah dia
memanggil namanya sendiri, Iya. Kembang senyumnya selalu merekah seperti mawar
di pot halaman rumah. Dan Kania tak jarang berteriak, “Iya sayaaang,” jika
sudah terdengar suara “Prang”. Itu artinya, ada yang pecah, bisa vas bunga,
gelas, piring, atau meja kaca. Terakhir cermin rias ibunya yang pecah. Waktu
dia melompat dari tempat tidur ke lantai, boneka kayu yang dipegangnya
terpental. Dan dia cuma bilang “Kenapa semua kaca di rumah ini selalu pecah,
Ma?”
18 tahun yang lalu, ....
Hari ini Kamila ulang tahun. Aku sengaja pulang lebih awal
dari pekerjaanku agar bisa membeli hadiah dulu. Kemarin lalu dia merengek minta
dibelikan bola. Kania tak membelikannya karena tak mau anaknya jadi tomboy
apalagi jadi pemain bola seperti yang sering diucapkannya. “Nanti kalau sudah
besar, Iya mau jadi pemain bola!” tapi aku tidak suka dia menangis terus minta
bola, makanya kubelikan ia sebuah bola. Paling tidak aku bisa punya lawan main
setiap sabtu sore. Dan seperti yang sudah kuduga, dia bersorak kegirangan waktu
kutunjukkan bola itu. “Horee, Iya jadi pemain bola.”
17 Tahun yang lalu, ...
Iya, Iya. Bapak kan sudah bilang jangan main bola di
jalan. Mainnya di rumah aja. Coba kalau ia nurut, Bapak kan tidak akan seperti
ini. Aku tidak tahu bagaimana Kania bisa tidak tahu Iya menyembunyikan bola di
tas sekolahnya. Yang aku tahu, hari itu hari sabtu dan aku akan menjemputnya
dari sekolah. Kulihat anakku sedang asyik menendang bola sepanjang jalan pulang
dari sekolah dan ia semakin
ketengah jalan. Aku berlari menghampirinya, rasa
khawatirku mengalahkan kehati-hatianku dan “Iyaaaa”. Sebuah truk pasir telak
menghantam tubuhku, lindasan ban besarnya berhenti di atas dua kakiku. Waktu
aku sadar, dua kakiku sudah diamputasi. Ya Tuhan, bagaimana ini. Bayang-bayang
kelam menyelimuti pikiranku, tanpa kaki, bagaimana aku bekerja sementara
pekerjaanku mengantar barang dari perusahaan ke rumah konsumen. Kulihat Kania
menangis sedih, bibir cuma berkata “Coba kalau kamu tak belikan ia bola!”
15 tahun yang lalu, ...
Perekonomianku morat marit setelah kecelakaan. Uang
pesangon habis untuk ke rumah sakit dan uang tabungan menguap jadi asap dapur.
Kania mulai banyak mengeluh dan Iya mulai banyak dibentak. Aku hanya bisa
membelainya. Dan bilang kalau Mamanya sedang sakit kepala makanya cepat marah.
Perabotan rumah yang bisa dijual sudah habis. Dan aku tak bisa berkata apa-apa
waktu Kania hendak mencari ke luar negeri. Dia ingin penghasilan yang lebih
besar untuk mencukupi kebutuhan Kamila. Diizinkan atau tidak diizinkan dia akan
tetap pergi. Begitu katanya. Dan akhirnya dia memang pergi ke Malaysia.
13 tahun yang lalu,
Setahun sejak kepergian Kania, keuangan rumahku sedikit
membaik tapi itu hanya setahun. Setelah itu tak terdengar kabar lagi. Aku harus
mempersiapkan uang untuk Kamila masuk SMP. Anakku memang pintar dia loncat satu
tahun di SD-nya. Dengan segala keprihatinan kupaksakan agar Kamila bisa
melanjutkan sekolah. aku bekerja serabutan, mengerjakan pekerjaan yang bisa
kukerjakan dengan dua tanganku. Aku miris, menghadapi kenyataan. Menyaksikan
anakku yang tumbuh remaja dan aku tahu dia ingin menikmati dunianya. Tapi
keadaanku mengurungnya dalam segala kekurangan. Tapi aku harus kuat. Aku
harus tabah untuk mengajari Kamila hidup tegar.
10 tahun yang lalu, ...
Aku sedih, semua tetangga sering mengejek kecacatanku. Dan
Kamila hanya sanggup berlari ke dalam rumah lalu sembunyi di dalam kamar. Dia
sering jadi bulan-bulanan hinaan teman sebayanya. Anakku cantik, seperti
ibunya. “Biar cantik kalo kere ya kelaut aje.” Mungkin itu kata-kata yang
sering kudengar.
Tapi anakku memang sabar dia tidak marah walau tak urung
menangis juga. “Sabar ya, Nak!” hiburku. “Pak, Iya pake jilbab aja ya, biar
tidak diganggu!” pintanya padaku. Dan aku menangis. Anakku maafkan bapakmu,
hanya itu suara yang sanggup kupendam dalam hatiku. Sejak hari itu, anakku tak
pernah lepas dari kerudungnya. Dan aku bahagia. Anakku, ternyata kamu sudah
semakin dewasa. Dia selalu tersenyum padaku. Dia tidak pernah menunjukkan
kekecewaannya padaku karena sekolahnya hanya terlambat di bangku SMP.
7 tahun yang lalu, ...
Aku merenung seharian. Ingatanku tentang Kania, istriku,
kembali menemui pikiranku. Sudah bertahun-tahun tak kudengar kabarnya. Aku tak
mungkin bohong pada diriku sendiri, jika aku masih menyimpan rindu untuknya.
Dan itu pula yang membuat aku takut. Semalam Kamila bilang dia ingin menjadi
TKI ke Malaysia. Sulit baginya mencari pekerjaan di sini yang cuma lulusan SMP.
Haruskah aku melepasnya karena alasan ekonomi. Dia bilang
aku sudah tua, tenagaku mulai habis dan dia ingin agar aku beristirahat. Dia
berjanji akan rajin mengirimi aku uang dan menabung untuk modal. Setelah itu
dia akan pulang, menemaniku kembali dan membuka usaha kecil-kecilan. Seperti
waktu lalu, kali ini pun aku tak kuasa untuk menghalanginya. Aku hanya berdoa
agar Kamilaku baik-baik saja.
4 tahun lalu, ...
Kamila tak pernah telat mengirimi aku uang. Hampir tiga
tahun dia di sana. Dia bekerja sebagai seorang pelayan di rumah seorang nyonya.
Tapi Kamila tidak suka dengan laki-laki yang disebutnya datuk. Matanya tak
pernah siratkan sinar baik. Dia juga dikenal suka perempuan. Dan nyonya itu
adalah istri mudanya yang keempat. Dia bilang dia sudah ingin pulang. Karena
akhir-akhir ini dia sering diganggu. Lebaran tahun ini dia akan berhenti
bekerja. Itu yang kubaca dari suratnya. Aku senang mengetahui itu dan selalu
menunggu hingga masa itu tiba. Kamila bilang, aku jangan pernah lupa salat dan
kalau kondisiku sedang baik usahakan untuk salat tahajjud. Tak perlu memaksakan
untuk puasa sunnah yang pasti setiap bulan Ramadhan aku harus berusaha sebisa
mungkin untuk kuat hingga beduk manghrib berbunyi. Kini anakku lebih pandai
menasihati daripada aku. Dan aku bangga.
3 tahun 6 bulan yang lalu, ..
Inikah badai? Aku mendapat surat dari kepolisian
pemerintahan Malaysia, kabarnya anakku ditahan. Dan dia diancam hukuman mati,
karena dia terbukti membunuh suami majikannya. Sesak dadaku mendapat kabar ini.
Aku menangis, aku tak percaya. Kamilaku yang lemah lembut tak mungkin membunuh.
Lagipula kenapa dia harus membunuh. Aku meminta bantuan hukum dari Indonesia
untuk menyelamatkan anakku dari maut. Hampir setahun aku gelisah menunggu kasus
anakku selesai. Tenaga tuaku terkuras dan airmataku habis. Aku hanya bisa
memohon agar anakku tidak dihukum mati andai dia memang bersalah.
2 tahun 6 bulan yang lalu, ...
Akhirnya putusan itu jatuh juga,
anakku terbukti bersalah. Dan dia harus menjalani hukuman gantung sebagai
balasannya. Aku tidak bisa apa-apa selain menangis sejadinya. Andai aku tak
izinkan dia pergi apakah nasibnya tak akan seburuk ini? Andai aku tak belikan
ia bola apakah keadaanku pasti lebih baik? Aku kini benar-benar sendiri. Wahai
Allah kuatkan aku. Atas permintaan anakku aku dijemput terbang ke Malaysia.
Anakku ingin aku ada di sisinya disaat terakhirnya. Lihatlah, dia kurus sekali.
Dua matanya sembab dan bengkak. Ingin
rasanya aku berlari tapi apa daya kakiku tak ada. Aku masuk ke dalam ruangan
pertemuan itu, dia berhambur ke arahku, memelukku erat, seakan tak ingin
melepaskan aku. “Bapak, Iya Takut!” aku memeluknya lebih erat lagi.
Andai bisa ditukar, aku ingin menggantikannya. “Kenapa,
Ya, kenapa kamu membunuhnya sayang?” “Lelaki tua itu ingin Iya tidur dengannya,
Pak. Iya tidak mau. Iya dipukulnya. Iya takut, Iya dorong dan dia jatuh dari
jendela kamar. Dan dia mati. Iya tidak salah kan, Pak!” Aku perih mendengar
itu. Aku iba dengan nasib anakku. Masa mudanya hilang begitu saja. Tapi aku
bisa apa, istri keempat lelaki tua itu menuntut agar anakku dihukum mati. Dia
kaya dan lelaki itu juga orang terhormat. Aku sudah berusaha untuk memohon
keringanan bagi anakku, tapi menemuiku pun ia tidak mau. Sia-sia aku tinggal di
Malaysia selama enam bulan untuk memohon hukuman pada wanita itu.
2 tahun yang lalu, ....
Hari ini, anakku akan dihukum gantung. Dan wanita itu akan
hadir melihatnya. Aku mendengar dari petugas jika dia sudah datang dan ada di
belakangku. Tapi aku tak ingin melihatnya. Aku melihat isyarat tangan dari
hakim di sana. Petugas itu membuka papan yang diinjak anakku. Dan ‘blass”
Kamilaku kini tergantung. Aku tak bisa lagi menangis. Setelah yakin sudah mati,
jenazah anakku diturunkan mereka, aku mendengar langkah kaki menuju jenazah
anakku. Dia menyibak kain penutupnya dan tersenyum sini. Aku mendongakkan
kepalaku, dan dengan mataku yang samar oleh air mata aku melihat garis wajah
yang kukenal.
“Kania?”
“Mas Har, kau … !”
“Kau … kau bunuh
anakmu sendiri, Kania!”
“Iya? Dia..dia .
Iya?” serunya getir menunjuk jenazah anakku.
“Ya, dia Iya kita.
Iya yang ingin jadi pemain bola jika sudah besar.”
“Tidak … tidaaak …
” Kania berlari ke arah jenazah anakku.
Diguncang tubuh kaku itu sambil menjerit histeris. Seorang
petugas menghampiri Kania dan memberikan secarik kertas yang tergenggam di
tangannya waktu dia diturunkan dari tiang gantungan. Bunyinya “Terima
kasih Mama.” Aku baru adar, kalau dari dulu Kamila sudah tahu wanita itu
ibunya.
Setahun lalu, ...
Sejak saat itu istriku gila. Tapi apakah dia masih
istriku. Yang aku tahu, aku belum pernah menceraikannya. Terakhir kudengar
kabarnya dia mati bunuh diri. Dia ingin dikuburkan di samping kuburan anakku,
Kamila. Kata pembantu yang mengantarkan jenazahnya padaku, dia sering
berteriak, “Iya sayaaang, apalagi yang pecah, Nak.” Kamu tahu Kania, kali ini
yang pecah adalah hatiku. Mungkin orang tua kita memang benar, tak seharusnya
kita menikah. Agar tak ada kesengsaraan untuk Kamila anak kita. Benarkah begitu
sayang?
No comments:
Post a Comment